Ujian nasional merupakan agenda
terbesar bagi bangsa Indonesia yang diadakan setiap tahunnya. Meskipun pada
dasarnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan
untuk mnghilangkan perhelatan akbar itu beberapa tahun yang lalu, namun
sampai sekarang pemerintah tetap melaksanakan agenda rutin itu.
Lingkungan Kementerian Pendidikan
sepertinya tidak ingin kehilangan proyek milyaran rupiah ini. Sangat disesalkan!
Apalah artinya Ujian Nasional, jika dalam setiap pelaksanaannya masih terdapat
banyak kecurangan-kecurangan. Seperti misalnya, kebocoran soal ujian, banyaknya
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab menjual kunci jawaban melalui pesan
singkat (SMS) berantai, belum lagi peran pengawas yang tidak tega melihat anak
didiknya sampai tidak lulus ujian, sehingga dengan senang hati membiarkan
peserta ujian saling bekerja sama ataupun melihat contekan, dan lain
sebagainya. Semua persoalan tersebut seolah-olah telah menjadi agenda rutin
pula, disetiap Ujian Nasional, dan sepertinya sudah menjadi lahan bisnis bagi
orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Semua persoalan tersebut merupakan
bentuk-bentuk kecurangan yang sering kita temukan, kita dengar bahkan kita
alami sendiri sebagai seorang guru. Inilah potret dunia pendidikan kita
sekarang. Sistem kelulusan yang ditentukan oleh satu pihak yang dulu pernah
menuai kontroversi, telah menjadikan sekolah melakukan perbuatan apa saja demi
mengejar kelulusan bagi anak didiknya. Sistem dimana sekolah sama sekali tidak
diberikan kewenangan atau peluang untuk menentukan lulus atau tidaknya para
peserta ujian seperti ini sungguh sangat merugikan pihak sekolah. Mengapa?
Sungguh sangat ironi memang, karena saya kira kita sendiri tahu bahwa pihak
sekolah lah yang tahu dan mengerti betul akan kemampuan peserta didiknya itu.
Dengan adanya sistem kelulusan
seperti ini, banyak sekolah yang mengalami kemunduran dalam miningkatkan
prestasi kelulusan peserta didik mereka. Bahkan sungguh sangat disayangkan, ada
salah satu sekolah yang tidak satupun siswa mereka lulus dalam Ujian Nasional.
Padahal kita yakin, disana banyak siswa-siswinya yang memiliki prestasi yang
sangat membanggakan bagi sekolah mereka. Sayang sekali pemerintah kurang
menanggapi hal semacam ini secara maksimal. Pemerintah tetap tidak bergeming
dengan keputusan mereka untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional sampai
sekarang.
Yang jadi pertanyaan sekarang, untuk
apa sebenarnya pemerintah mengadakan Ujian Nasional itu? Apa dampak positifnya
bagi bangsa ini? Apakah dengan Ujian Nasional bisa meningkatkan kualitas
peserta didik, atau kualitas Bangsa Indonesia itu sendiri secara umum?
Saya kira semua itu belum tentu
meningkatkan kualitas pendidikan dinegara ini. Justru saya melihat dengan
adanya Ujian Nasional ini, malah hanya menambah beban mental bagi peserta didik
dan guru itu sendiri. Masing-masing sekolah justru berlomba-lomba bagaimana
caranya supaya anak-anak didiknya lulus seratus persen (100%) walaupun harus
mengorbankan nilai-nilai kejujuran dalam menempuh hal tersebut. Masing-masing
sekolah akan merasa malu jika sekolahnya menduduki peringkat paling bawah dalam
hal kelulusan. Akhirnya apapun caranya akan ditempuh, tidak peduli benar atau
salah. Lain halnya dengan peserta ujian, mereka akan lebih rela membayar
berjuta-juta demi sebuah kelulusan, misalnya dengan membeli kunci jawaban yang
belum tentu benar adanya, pada pihak yang tidak bertanggungjawab. Belum lagi
yang berbekal contekan dari rumah dan lain sebagainya. Berbagai macam cara
mereka lakukan agar bisa lulus dalam Ujian. Saya sendiri heran, untuk hal
negatif semacam ini mengapa giat betul mereka lakukan. Yang lebih hebat lagi,
mereka berani membawa handphone alias HP, kedalam ruang ujian, padahal
peraturan jelas-jelas melarang peserta ujian membawa HP. Semua itu mereka
lakukan tidak lain hanya untuk sebuah kata ajaib yang bernama ‘LULUS’. Lalu
dimana kualitasnya?
Sekarang, konon kebijakan pemerintah
sudah memberikan kewenangan kepada pihak sekolah sebesar 40% untuk ikut andil
dalam menentukan kelulusan melalui ujian
sekolah. Lagi-lagi timbul pertanyaan, apakah ujian sekolah juga bisa menentukan
kualitas pendidikan peserta didik? Saya kira Justru semakin menambah beban pula
bagi peserta didik dan guru-guru yang bersangkutan. Sudah bisa dipastikan,
praktek-praktek kecurangan dalam hal ini akan semakin besar. Karena ada
indikasi 40% kelulusan ditentukan oleh ujian sekolah, tentu tidak menutup
kemungkinan nilai yang tadinya rendah atau pun dibawah standar kelulusan bisa
saja didongkrak menjadi tinggi. Bisa saja nilai 2 (dua) menjadi 8 (delapan).
Sungguh sangat ironi nasib pendidikan bila hal ini terus saja berlanjut dari
tahun ketahun.
Sekolah akhirnya memiliki budaya rasa
malu dan takut bila sistem kelulusan masih ditentukan oleh satu pihak seperti
itu. Artinya, sekolah akan merasa malu dan akan dicap sebagai sekolah rendahan,
dengan banyaknya peserta didik mereka yang tidak lulus. Selain itu, sekolah
juga takut menanggung aib, takut ditinggalkan siswa-siswa yang baru yang ingin
mendaftar kesekolah mereka, takut citra sekolahnya menurun dan segala macam hal
yang berhubungan dengan dampak negatif lainnya. Sehingga untuk mengantisipasi
hal tersebut, dilakukanlah berbagai macam cara, tidak perduli itu - meminjam
istilah agama- halal atau haram. Sekolah tidak lagi memandang nilai-nilai luhur
tentang sebuah kejujuran. Yang celakanya lagi hampir seluruh praktisi
pendidikan termasuk guru, terlibat didalamnya.
Penulis pernah bertanya kepada
beberapa rekan guru yang mengawas Ujian Sekolah. “Apakah membawa HP kedalam
ruang ujian dibenarkan?” Salah satu rekan guru menjawab sambil senyum-senyum.
“Tentu saja tidak”, katanya. Lalu penulis bertanya lagi, “Tapi faktanya, banyak
siswa siswi yang membawa HP, bagaimana seharusnya sikap kita dalam hal ini?
Rekan penulis hanya senyum-senyum sambil menjawab dengan santai, “akh...kita
hanya menjalankan kebijakan yang diatas agar dalam mengawasi mereka
santai-santai saja, tidak perlu tegang”.
Rekan penulis yang lain mengatakan, “kita ini dihadapkan dengan posisi
sulit, bertentangan dengan hati NURANI!’
Apa yang di ungkapkan rekan penulis
terakhir itu, tidak bisa kita pungkiri. Membiarkan peserta ujian membawa HP
keruang ujian merupakan salah satu bentuk kesalahan kecil yang kadang kita
lakukan yang pada akhirnya mengakibatkan salah satu bentuk kecurangan. Hati
nurani tidak bisa menolak hal itu. Penulis pun bisa merasakan sendiri.
Ironi memang, disatu sisi sekolah
tidak ingin menanggung aib, disisi lain sekolah menginginkan peserta didik
lulus dengan cemerlang. Seharusnya kita tidak perlu merasa malu dan takut jika
sekolah kita mengalami kemunduran dan banyaknya peserta didik yang tidak lulus,
jika memang kita sudah menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam pelaksanaan ujian
nasional tersebut. Kita juga sudah berusaha dan berupaya semaksimal mungkin
untuk mendidik dan mengajari mereka dalam menimba ilmu. Kalau banyak di antara
mereka yang gagal dalam ujian, setelah kita menerapkan aturan-aturan dalam
ujian nasional dan mengutamakan prinsip kejujuran tersebut, tidak perlu lah
kita merasa kecewa dan malu serta takut menghadapi hal tersebut. Sebaliknya hal
itu patut kita jadikan pelajaran dan evaluasi diri, sudah sejauh mana kita
berusaha dalam mendidik, mengajari dan mendorong mereka dalam belajar. Apalah
artinya sebuah kelulusan kalau hal itu dibarengi dengan ketidak jujuran ataupun
kecurangan dalam meraihnya? Apakah ada kebanggaan dihati kita bila sekolah kita
lulus 100% setiap tahunnya namun hasil dari sebuah kecurangan?
Oleh karena itu, kita selaku pendidik
harus terus memberikan dorongan atau motivasi kepada anak-anak didik kita
supaya mereka giat dalam belajar dan senantiasa menanamkan nilai-nilai kebaikan
kedalam diri mereka.
Akhirnya, ibarat kata pepatah tiada
gading yang tak retak, kita selaku manusia biasa tentu saja tidak luput dari
kesalahan namun justru dari kesalahan itulah kita belajar. Penulis hanya bisa
berharap, semoga dunia pendidikan kita kedepannya mengalami perubahan dan
kemajuan, dengan mengutamakan prinsip kejujuran dan taat pada aturan-aturan
yang telah dibuat dalam pelaksanaan Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah.
Semoga!
Comments